Masuknya Islam Di Pekalongan
Pekalongan dan Batang merupakan kesatuan baik dalam arti kesatuan geografi maupun dalam proses pertumbuhan. Dalam menyelusuri proses Penyebaran Islam yang terjadi di Pekalongan kita harus lebih dulu menyimak proses penyebarannya. Karena dari geografi sejarah Islam, proses kedatangan Islam di Jawa sangat penting bertalian dengan pelaku yang terdiri dari nama-nama tokoh ulama yang pernah berperan membangun kerajaan Islam Demak di Jawa.
Tokoh ulama Islam yang hidup semasa Demak sangat mempengaruhi proses pengembangan Islam baik di wilayah Sunda maupun Jawa Tengah pantai. Melalui penelitian arkeologi Islam, Penyebaran Islam atau kedatangan Islam di Pekalongan dimulai dari daerah yang masyarakatnya sudah menganut agama Islam. Pekalongan adalah kota pelabuhan yang penduduknya sejak abad XIV sudah ada yang memeluk agama Islam. Ketika daerah tersebut mulai menjadi kota tentu saja perkembangannya akan mempengaruhi daerah terdekatnya. Dengan demikian proses penyebaran Islam yang terjadi di Pekalongan dengan sendirinya akan terjadi juga di Pekalongan.
Penyebaran Islam yang terjadi di Pekalongan terdiri tiga fase. Fase pertama berlangsung abad ke XIV dan XV berkaitan dengan adanya pertumbuhan penduduk asing seperti Cina dan Arab yang pada periode awal telah membangun pemukiman menjadi kota. Kemudian pada fase kedua terjadi pada abad XV hingga XVII M berkaitan dengan penyebaran Islam di Jawa yang dilakukan oleh para wali sembilan (wali songo). Bersamaan dibangunnya Kerajaan Islam Demak dan Cirebon penyebaran Islam baik di kota-kota pantai dan pedalaman telah berlangsung secara bertahap. Pada fase ketiga terjadi pada periode abad XVII sampai XVIII M. Pada fase ketiga ini merupakan periode gelombang kedua dari para penyebar agama Islam orang asing yang di Pekalongan digerakkan oleh ulama-ulama Hadramaut dan para ulama pribumi yang disebut sebagai ulama Alawiyin dan ulama dari pondok pesantren. Sepanjang sejarahnya ulama-ulama tersebut memiliki peran besar dalam gerakan Penyebaran Islam di dunia.
Makam dan nisan Islam pada periode penyebaran Islam abad XVII di Pekalongan berlangsung semasa Mataram Islam dan Kolonial terjadi di Pekalongan. Prasasti nisan yang tertulis pada makam para sayid (syekh) di beberapa tempat terdapat pemakaman para bupati Pekalongan di Paskaran dan makam Jayengrono di Wiradesa. Juga yang terjadi di Sapura Pekalongan, telah menunjukkan bahwa nisan-nisan tersebut memuat angka tahun yang sama sekitar abad XVII dan XVII M. Nama-nama makam Islam yang berada di Pekalongan di antaranya Syekh Magribi (Syekh Wonobodro), Syekh Jambukarang, Syekh Subakir, Syekh Tolabuddin, Syekh Majaagung, Syekh Merang Abang, Syekh Lemah Abang, dan lain-lain. nama-nama tersebut mengingatkan nama sejumlah wali yang mendirikan kerajaan Islam Demak. Setidak-tidaknya keberadaannya sebagai tokoh ulama, pernah tercatat dalam proses Penyebaran Islam yang terjadi di Jawa. Para syekh tersebut umumnya tidak memiliki informasi tertulis yang dapat dijadikan sumber sejarah, sehingga sangat sulit untuk diketahui identitasnya secara jelas. Sulitnya untuk mengetahui identitas tokoh-tokoh ulama penyebar Islam yang berhubungan dengan nisan-nisan Islam pada umumnya nisan Islam pada periode abad ke XV sampai XVI tidak memiliki angka tahun. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran dan catatan di dalamnya akan kita bicarakan dalam bab Pengaruh Sastra dan Keagamaan di Jawa Tengah.
Keberadaan Makam Para Sayid di Pekalongan
Petunjuk adanya kegiatan dalam rangka Penyebaran Islam di Pekalongan dapat diketahui adanya makam-makam Islam dari kelompok makam para habaib yang terdapat di beberapa tempat seperti di Wiradesa, kota Pekalongan, dan kabupaten Pekalongan. Nisan-nisan makam Islam pertama yang menunjuk adanya para sayid ahlulbait di wilayah Pekalongan dan Pekalongan terdapat di komplek pemakaman Jayengrono di Wiradesa. Meskipun tak semua nisan makamnya memuat angka tahun namun pada hiasan yang terpahat pada batu nisan yang berisi ayat suci al-Qur’an memiliki persamaan dengan nisan makam al-Qodi Zakaria, yang terdapat di komplek pemakaman para bupati di Astana Pasekaran Pekalongan.
Diketahui bahwa al-Qodi Zakaria adalah ayah dari Mu’minah binti Zakaria al-Qodi yang nisannya berangka tahun 1822 H yang dikebumikan di pemakaman para sayid alawiyin di desa Ketinggring Wonosobo. Pada makam Mu’minah yang jelas-jelas berasal dari Batang dapat diketahui karena pada kaki nisannya tertulis “baldatun Batang” yang artinya dari negeri (daerah) Pekalongan.
Di Wiradesa nisan yang memiliki hiasan lainnya adalah nisan makam Kyai Faqih atau Sayid Faqih. Nisan yang dibuat dari bahan kayu tersebut terdapat ukiran yang bergambar lingkaran roda berjari-jari yang menyerupai bulatan dengan garis sinar matahari. Gambar tersebut memiliki persamaan dengan nisan makam Qodi Zakaria yang berbahan batu pahatan. Lukisan pada nisan Islam tersebut juga terdapat di Sumatera (Pasai) terdapat pada makam Sayid Amir Syarif Syirazi seorang hakim (Qodi) di kerajaan Islam Pasai pada tahun 1326 semasa Pasai di bawah kekuasaan Sultan Maliku Zahir.
Lukisan roda berjari-jari oleh Islam merupakan simbol bagi seorang ahli hukum Islam dan berperan sebagai lambang keadilan. Di Jawa simbol matahari memiliki arti sebagai jalan terang. Sayangnya nisan-nisan Islam yang memuat tanda-tanda baik hiasan maupun prasasti sangat sedikit. Sehingga data-data secara tertulis yang diharapkan merupakan sumber utama dalam penelusuran sejarah sangat sulit didapatkan. Namun demikian di dalam menelusuri sejarah Penyebaran Islam di Pekalongan selain nisan dapat juga di peroleh dari naskah-naskah atau kronik-kronik tempatan yang berisi riwayat (silsilah) meskipun merupakan suatu sumber data bantu akan tetapi dapat mendukung mencari titik terang di dalam penulisan sejarah Islam.
Sumber-sumber Islam tak tertulis di Pekalongan yang menempatkan kehadiran tokoh-tokoh ulama Islam yang paling menonjol adalah makan para abaib (para sayid) yang terdapat di Sapuro yang terletak di tepi sungai Loji (sungai Kupang) desa Sapuro, Pekalongan. Pemakaman Sapuro merupakan pusat pemakaman bagi warga masyarakat Pekalongan yang hampir digunakan sebagai makam umum. Pada tahun 1868 J.F.G. Brummund di dalam “bijdraagen tut de kennis van Het Hinduisn van java” telah menguraikan hasil temuan yang ada di Pekalongan pada masa Hindu budha. Salah satu fragmen berupa yoni dan arca telah ditemukan di desa Sapuro yang berdekatan dengan sungai Loji (sungai Kupang). Bersamaan dengan temuan-temuan lainnya yang ada di sepanjang sungai tersebut sejak dari muara sampai hulu terdapat artefak-artefak yang disinyalir sebagai salah satu peninggalan bekas bangunan suci Hindu dan budha. Tempat-tempat sepanjang sungai tersebut antara lain di Warung Asem, Talun, Petungkriono, sampai Wonotunggal kabupaten Batang. Artefak tersebut sekarang masih tersimpan di gedung eks rumah residen Pekalongan. Menurut Brummund di tempat adanya temuan peninggalan Hindu Jawa di Pekalongan merupakan data sekunder di dalam penelusuran sejarah klasik Jawa bagian utara yang mana di dalamnya banyak belum terungkap kesemuanya.
Sesuai dengan nama Sapuro diperkirakan di tempat yang sekarang dijadikan pemakaman Islam dahulu kala mungkin terdapat bangunan pura. Ketika lahan tersebut dijadikan tempat pemakaman Islam nama Sapuro berubah menjadi Gapuro. Dalam arti lain boleh jadi bermakna Ghafuro (bahasa Arab) yang artinya ampunan. Di pemakaman Sapuro terdapat komplek pemakaman para sayid alawi Hadramaut yang pernah pindah ke Asia Tenggara pada abad XVII M. Kelompok makam para sayid tersebut tidak kita temukan prasasti yang menyangkut nama atau yang memiliki tanda-tanda lainnya seperti nisan-nisan para sayid yang berada di luar Pekalongan. Namun dari kelompok para sayid alawiyin yang dimakamkan pada umumnya berasal dari berbagai marga. Misalnya al-Yahya (bin Aqil), al-Atas, al-Jufri, al-Idrus, dan lain-lain. Masing-masing kelompok telah dipelihara dengan baik oleh keluarga keturunannya dan keterangan tentang nama-nama yang tertulis pada nisan telah dikaitkan pada nasabnya (silsilah keluarga). Yang oleh para ahlulbait penulisan silsilah ini sudah menjadi tradisi yang dilakukan sejak awal.
Saat kedatangan para sayid alawiyin di Pekalongan pada kurun abad XVII bukan berarti masyarakat Pekalongan belum Islam sebab satu abad jauh sebelumnya sebagian masyarakat Pekalongan sudah memeluk agama Islam. Ini dapat dilihat melalui petunjuk dari makam Islam yang lain seperti makam Syekh Maghribi dan Pangeran Pekalongan yang berada di komplek pemakaman Wonobodro, Blado kabupaten Pekalongan serta makam seorang muslimat dari keluarga para habaib bernama Syarifah Ambariyah di Kecamatan Bojong kabupaten Pekalongan.
Meskipun nisan makamnya tidak berangka tahun akan tetapi oleh masyarakat makam Syekh Wonobodro (Syekh Maghribi) dan Pangeran Pekalongan sebagai situs yang tertua. Situs pemakaman Syekh Maghribi dan Pangeran Pekalongan berada di daerah pegunungan wilayah kecamatan Blado, mendekati jalan lama yang merupakan jalan penghubung antara wilayah Pekalongan dan Bandar serta Limpung dan Bawang sampai Dieng Wonosobo dan Temanggung di selatan.
Pada situs makam kedua ulama tersebut terdapat nama Syekh dan Pangeran . Selain itu tidak lagi tanda-tanda yang bisa memberikan informasi atau keterangan secara jelas siapa dan tahun berapa kira-kira beliau itu hidup. Nisan kedua makam tokoh ulama Islam itu nampaknya sudah beberapa kali diganti sehingga nisan tersebut dapat dikatakan nisan baru. Nisan Syekh Maghribi dibuat dari kayu sangat sederhana dan nisan Pangeran Pekalongan dibuat dengan pahatan marmet tanpa prasasti. Dibanding dengan nisan makam yang lain di luar situs inti (kedua makam) masih ada tanda-tanda nisan asli yang nampak variatif. Sebagian dibuat dari batu menhir (batu tegak) dan adapula yang sudah dipahat. Salah satu nisan batu berornamen kita dapatkan di antara dua situs antara situs makam Syekh Maghribi dengan situs Pangeran Pekalongan. Nisan tersebut tanpa tahun dan tanpa nama, akan tetapi berhiaskan pahatan berbentuk Sidomukti (salah satu ragam hias batik yang berbentuk sayap burung). Ragam hias sidomukti pada nisan, juga kita temukan di komplek Sapuro di Pekalongan dan pemakaman di Astana Pasekaran. Dari kedua makam tokoh ulama para sayid tersebut yang harus ditengarai adalah nama (sebutan Syekh Maghribi) yang memiliki indikasi sebagai seorang syekh (ulama asing) yang umumnya merupakan sebutan para sayid hadramaut. Para sayid hadramaut yang umumnya berasal dari Maghribi (wilayah tenggelamnya matahari) seperti Arab, Persi, Gujarat atau wilayah asia kecil Uzbekistan maupun dari Sumatera. Maulana Malik Ibrahim Kasani yang meninggal tahun 1419 di Gresik juga disebut Syekh Maghribi.
Pada masa lalu masyarakat Jawa menyebut nama para ulama asing dari belahan barat sering tidak komunikatif karena nama tersebut mengandung lafadz yang sulit diterima oleh lidah Jawa. Untuk memudahkan menyebut nama aslinya biasanya diganti dengan sebutan di mana mereka tinggal. Syekh Magribi mendapat sebutan Syekh Wonobodro di mana tempat ia dimakamkan. Demikian pula Pangeran Pekalongan. Sebutan Pangeran di Jawa merupakan gelar keningratan yang umumnya sebagai putra raja. Sementara di Pekalongan pada abad XIV M tidak ada kerajaan Islam. Boleh jadi nama pangeran digunakan untuk menandai bahwa Pangeran Pekalongan adalah seorang ulama pribumi dari Pekalongan yang mungkin memiliki darah ningrat.
Pada komplek makam Pangeran Pekalongan berada di suatu area di sebelah timur komplek makam Syekh Maghribi. Menurut keterangan juru kunci makam tanah di atas makam Pangeran Pekalongan sejak dahulu merupakan tanah perdikan. Sebaliknya riwayat tanah yang dijadikan komplek makam Syekh Maghribi tidak disebutkan. Lalu kapan kira-kira Syekh Maghribi dimakamkan di Wonobodro .
Temuan arkeologi terhadap artefak berupa alat-alat kubur termasuk nisan pada makam Islam di Pekalongan merupakan tinggalan ekofak yang mengacu pada benda-benda yang terdapat di lingkungan situs pemakaman. Benda-benda tersebut secara arkeologis dapat memberi petunjuk untuk mendapatkan informasi tentang keberadaannya. Di situs Wonobodro tidak jauh dari makam Syekh Mahgribi kita temukan sebuah pohon besar berdiameter 8 meter yang sudah usang tapi tetap bertahan hidup. Pohon tersebut tentu mempunyai kaitan dengan situs makam. Di dalam sistem pemakaman Islam penanaman suatu pohon di samping nisan juga merupakan tanda (tetenger). Pohon besar tersebut oleh masyarakat di lingkungan makam disebut pohon Jelamprang karena memiliki penampakan urat-urat kayu yang sudah tua dan garis-garisnya amat menonjol. Secara anatomei melalui lingkaran dari lapisan kayu dapat diprediksikan bahwa pohon tersebut diperkirakan berusia 600 tahun. Bilamana dikaitkan dengan makam Syekh Wonobodro (Syekh Maghribi) yang berada tidak jauh dari kompleks makam, pohon tersebut diperkirakan hidup sejaman.
Dengan melalui analisa ekofak dari lingkaran anatomi pohon tersebut bila dikonversikan dengan masa wafatnya Syekh Maghribi diperkirakan ulama asing yang disebut Syekh Maghribi di Wonobodro hidup sekitar abad XIV – XV M sejaman dengan masa Syekh Mahgribi di Gresik Jawa Timur dan para wali songo. Makam Pangeran Pekalongan terletak di tanah perdikan. Status tanah perdikan di Pekalongan ditetapkan oleh raja Mataram Islam sejak Sultan Agung menguasai pesisir Kilen. Tak dapat diketahui kapan Pangeran Pekalongan meninggal dan dimakamkan di Wonobodro berdekatan dengan Syekh Maghribi. Bila melihat jarak (kurun waktu) antara kedua makam tersebut, keduanya hidup tidak sejaman. Melihat status tanah yang digunakan sebagai tanah perdikan Pangeran Pekalongan diperkirakan hidup sejaman dengan masa Mataram Islam Yogyakarta yang menetapkan status tanah wilayah utara yang dahulunya sebagai wilayah Cirebon telah berubah menjadi tanah perdikan .
Dengan keberadaan makam-makam Islam yang dicurigai memiliki arti kesejarahan maka dalam proses Penyebaran Islam sejak kedatangan Islam di Pekalongan sampai pengembangannya dapat memberi petunjuk bahwa Penyebaran Islam di Pekalongan dilakukan oleh para sayid Hadramaut. Adapun fase-fase penyebarannya, Syekh Maghribi (Syekh Wonobodro) termasuk ahlul bait yang datang pada gelombang pertama dan merupakan ulama sufi yang bermahzab Suni Syafi’I (Sunah waljama’ah) yang dalam gerakan Penyebaran Islam di Jawa berperan besar mengislamkan masyarakat jawa yang masih kental menganut tradisi Hindu budha yang pernah berkuasa di Pekalongan pedalaman.
Di Pekalongan selain nama Syekh Maghribi (Syekh Wonobodro) terdapat makam para syekh yang menggunakan nama wali penyebar agama Islam pada abad ke XV baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Nama-nama yang dikenakan pada makam Islam di Pekalongan umumnya tidak berprasasti. Ada juga mengambil dari nama-nama tokoh ulama atau wali yang sudah tertulis pada naskah-naskah keraton seperti halnya kronik-kronik babad tanah jawi (BTJ), Kitab Skondar, maupun Kitab Centini.
Tasawuf dan Kesusastraan dalam Islamisasi di Pekalongan
Tradisi para ulama yang dalam sejarah pengembangan Islam telah menciptakan dan memiliki norma-norma budaya pengajaran (pengembangan kaidah-kaidah yang bersifat filosofis yang disebut ilmu Tasawuf). Istana kerajaan Melayu Samudra Pasai dan Malaka telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit terhadap pola pengembangan Islam di Jawa yang dikembangkan oleh para wali pada abad ke XV dalam rangka pembangunan moral. Hasil dari kesusastraan yang menempatkan pandangan dan keberadaan Tuhan serta pengamalannya pada pandangan-pandangan pokok tentang mazhab dari tradisi yang berkembang, telah menjadi kesepakatan bagi para ulama penyebar agama Islam dari empat mazhab. Mereka terdiri dari para imam besar agama Islam pada abad ke X, seperti Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki.
Ibnu Batutoh ketika singgah di Pasai pada tahun 1336 mengetahui bahwa ulama dan kerajaan telah menganut mazhab Syafi’i. Oleh karena itu mazhab Imam Syafi’i yang mungkin dibawa oleh para ulama yang disebut ulama Suni juga merupakan mazhab terbesar yang dianut oleh para ulama (wali) di Jawa pada tahun 1527 M. Perbedaan ini akibat dari pandangan ahli hukum dalam melaksanakan hukum Islam yang disebut syariah. Di dalam syariah menyebut hukum pokok adalah al-Qur’an dan Hadist Nabi. Hal ini tidak diragukan tapi dalam pengembangan kemudian diperlukan perluasan dengan kias yakni analogi kemudian diperlukan ijma’ (kesepakatan musyawarah) dan rai (pendapat pribadi atau umum). Dari masalah hukum tersebut timbullah aliran-aliran sesuai dengan pendapat empat imam. Aliran Syafi’i promotornya adalah al-Syafi’i guru besar dalam hukum Islam di Bagdad dan Kairo meninggal tahun 820. Alirannya menekankan ijma’ karena ijma’ merupakan jalan yang paling aman dan memiliki otoritas tinggi. Aliran kedua adalah Hanafi, promotornya Abu Hanifah guru besar dalam ilmu hukum di Kufah Bagdad. Aliran ini dianut di wilayah Asia Tengah dan berbagai tempat di India. Kemudian aliran Hambali, promotornya Ahmad Ibnu Hambal, seorang murid dari al-Syafi’i yang meninggal di Baghdad pada tahun 815, ajarannya menolak ajaran kias dan rai. Ajaran Hambali terlalu membenci penerapan ijma’. Aliran ini berkembang di Turki pada abad ke VIII dihidupkan kembali oleh kelompok Wahabi di Saudi Arabia Tengah. Dan terakhir adalah aliran Maliki yang dipromotori oleh Imam Malik.
Dalam penyebaran Islam di Indonesia aliran yang menempatkan mazhab di kalangan ulama telah mempengaruhi budaya dan sistem peribadatan yang dikembangkan oleh masing-masing penganutnya. Pada abad ke IV H (11 M) Kusaer dan Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali secara sempurna mengembangkan tasawuf sebagai cabang ilmu. Para ulama penyebar Islam di Pasai dan Malaka di samping mengembangkan mazhab suni yang juga aliran Syafi’i merupakan golongan ahli tasawuf. Di dunia Islam lahir berbagai kelompok tarikat yang semuanya bersumber pada ajaran al-Qur’an. Setiap tarikat memiliki cara khusus dalam cara berdzikir kepada Allah SWT. Tarikat (torikoh) adalah jalan atau metode untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam struktur pelaksanaan tarikat tidak hanya satu macam sehingga dapat dikatakan sebagai mazhab dalam tasawuf. Tarikat yang dibawakan oleh ulama hadramaut adalah tarikat yang disebut “alawi”. Tarikat alawi tarikat yang didirikan oleh sebagian besar sayid di Yaman selatan terbagi atas dua bagian, bagian batiniah dan jahiriah. Kebanyakan sufi tarikat memiliki karomah dan mendapat julukan seperti Syekh, Sayid, Naqib dan Qutub.
Karya-karya klasik Islam dalam sastra melahirkan karya-karya tasawuf. Pada abad XVII di Sumatera ada tiga orang ulama yaitu Hamzah Fansuri (meninggal 1590 M), Syamsudin dari Pasai (meninggal pada tahun 1630 M), Abdul Rauf dari Sinkel (1617 M) dan Nurudin Aranaeri dari Gujarat telah menulis tentang tasawuf Islam. Semua pengarang tasawuf tersebut mempunyai dasar yang sama khususnya Abdul Rauf, Syamsudin dan Aranaeri, semuanya menerapkan doktrin tasawuf tentang tujuh tahapan (martabat tujuh) yang di dalamnya menyebutkan Tuhan mewujudkan diri di dunia yang fana ini yang mencapai pemecahannya pada manusia sempurna (insan kamil). Doktrin ini diajarkan secara luas ke seluruh Indonesia. Apa yang dibicarakan di sini Tuhan turut terlibat kemajemukan dunia fana, dan bahwa roh manusia sedikit banyak merupakan bagian dari Tuhan. Dalam hal ini maka doktrin tersebut melanggar dasar keyakinan Islam yang meskipun Tuhan menciptakan dunia Ia tidak dimasukkan dalam diri manusia.
Kesusastraan Melayu pada abad ke XVI dan XVII merupakan karya tasawuf yang telah mempengaruhi perkembangan tasawuf Indonesia. Karya Hamzah Fansuri seperti Syaraf al-Asysyikin (minuman para kekasih), dan Asrar al-Arifin (rahasia para ginostik) telah mendapatkan tempat pada pemerintahan masa Iskandar Muda tahun 1607. Karya Samsudin yang berjudul Nur Atdakoiq (cahaya pada kehalusan-kehalusan) suatu karya dari tradisi Islam yang dianggap klenik. Pada masa itu ajarannya yang disebut klenik. Wahdatul wujud oleh para wali dilakukan oleh Syekh Siti Jenar berdasarkan wahdatul wujud dari Ibnu Arabi dan al-Halaj.
Dalam ilmu tasawud Hamzah Fansuri dan Samsudin Sumatrani terdapat ajaran :
1. Manifestasi Allah SWT pada wujud manusia dan alam.
2. Adanya perbedaan antara syariat dan tasawuf (ilmu hakikat)
Kronik-kronik merupakan gaya kesusastraan Melayu. Kitab-kitab seperti Hiakyat Aceh (kisah tentang Aceh) telah ditulis pada masa Iskandar Muda. Ada juga kronik yang berbahasa lain yang menceritakan negara di luar Aceh. Pemikiran Ibnu Arabi, al-Halaj, Abdul Karim al-Jili, al-Farabi, Imam al-Ghazali, dan Imam Ahmad al-Ghazali sangat menonjol di kalangan tasawuf Indonesia. Pengaruh yang mendasar adalah kitab Ihya Ulumudin dari Imam al-Ghazali yang sangat mempengaruhi para sufi melayu. Doktrin tasawuf yang berasal dari ajaran derajat tujuh Nur Muhammad dan Wahdatul Wujud sangat menarik bagi masyarakat Jawa terutama bagi perkembangan sastra klasik di Jawa. Abdul Rauf as-Sinkeli adalah orang pertama yang memperkenalkan tarikat satariyah di tanah Melayu. Dia memiliki hubungan dengan tarikat naqsabandiyah dan tarikat qodariyah. Syekh Yusuf al-Makasari (1627 – 1699 M) yang ikut bersama dengan Ki Ageng Tirtayasan di Kesultanan Banten dalam melawan Belanda, adalah orang pertama yang memperkenalkan tarikat naqsabandiyah dan chalwatiyah di tanah Melayu. Syekh Yusuf dalam pemikirannya melalui tasawuf sangat menekankan kemurnian tauhid dari segala bentuk syirik. Ia berkata tasawuf diperuntukkan bagi orang yang berilmu dan bukan bagi semua orang.
Pada abad VII di Indonesia ilmu tasawuf hampir merata dibawa para sayid dan ulama penyebar agama Islam. Dalam kaitannya dengan perjuangan untuk melenyapkan penjajahan Belanda (VOC) dan juga kepada para raja-raja Islam di Jawa dan Melayu yang banyak dipengaruhi oleh politik Belanda, mereka telah mengadakan gerakan-gerakan perjuangan yang bertujuan untuk menegakkan keadilan menurut ajaran Islam. Tokoh-tokoh seperti Syihabuddin Abdullah di Malaya, Kemas Fakhruddin, Abulsamat al-Palimbani yang bermukim di Mekah telah mempunyai peran penting dalam mengorganisasikan umat Islam di Indonesia melalui ulama-ulama untuk mengadakan gerakan anti Belanda dan mempengaruhi kerajaan Jawa untuk memusuhi Belanda. Kemudian Nafis al-Banjari dari Kalimantan, Abdul Wahi dari Bugis, Abdulrahman dari Betawi, al-Misri dari Jakarta, Nawawi al-Bantani dari Banten, mereka sangat besar peranannya dalam pengembangan tasawuf Islam.
Dalam pengembangan Islam di Pekalongan pada abad XVII yang dibawakan oleh para sayid dapat disimpulkan bahwa mereka sebagai penerus para ulama terdahulu yang membawakan ajaran Islam bermahzab Syafi’i dan membawa pengajaran tasawuf yang bermahzab alawi. Leluhur mereka berasal dari Hadramaut kemudian hijrah ke Sumatera (Perlak dan Samudera Pasai) sejak abad XIII. Penyebarannya kemudian sampai ke Malaka dan Jawa pada abad XIV sampai XVI dan XVII M. Hijrahnya para sayid Hadramaut ke Asia Tenggara antara abad XVII hingga XX terjadi beberapa tahap atau gelombang. Pada abad XVII ajaran yang dibawa para sayid dipelopori oleh Sayid Muhammad, sayid di Pekalongan. Rombongan para sayid bermarga Alawiyin bin Yahya telah mendiami pusat kota. Para sayid ini di samping mendirikan kholaqoh dan masjid juga melakukan usaha perdagangan. Di Pekalongan bermacam-macam jenis perdagangan seperti batik, mebel atau furnitur dan juga barang pecah dilakukan oleh para sayid di sekitar kampung Arab pusat kota. Di dalam khasanah ajaran Islam para sufi Hadramaut berasal dari keturunan Ali Qosim bin Basra yaitu cucu ketiga dari Imam Husein. Ahmad bin Isa yang dianggap sebagai pemimpin terpenting dari sayid Hadramaut (870 – 892 M) telah pindah dari Irak ke Hadramaut Yaman. Ahmad bin Isa disebut juga sebagai Muhajar Ilahi (yang berhijrah kepada Allah) bersama pengikutnya beliau mengembangkan mazhab Suni Syafi’i. Dua abad kemudian pada tahun 521 H (1127 M) keturunan dari Ahmad bin Isa dengan dipimpin Ali bin Alawi al-Qosim hijarah ke daerah Tarum di selatan Hadramaut. Di Tarum yang dikenal sebagai pusat ilmu para sayid alawi Hadramaut sangat dimuliakan. Para sayid ini meyakini dirinya dari keluarga Rasulullah dan anak keturunan Imam Husein yang pada abad ke XIII telah hijrah ke Jawa, Sumatera dan Indonesia. Mereka di samping ahli agama juga ahli tasawuf.
Di Pekalongan para sayid Alawiyyin yang dipelopori oleh Sayid Ahmad telah mendirikan masjid di kampung arab. Pada generasi berikutnya dilanjutkan oleh Sayid Ali. Kemudian setelah Sayid Ali menurunkannya sampai Sayid Ahmad. Keturunan dari Aqil bin Yahya adalah Habib Bakir dan Habib Luthfi. Mereka masing-masing mengembangkan tasawuf alawiyin dan naqsabandiyah.
Pengembangan dan Pendidikkan Islam di Pekalongan
Pada periode pra kemerdekaan abad XVIII - XX setelah ulama ikut perjuangan Diponegoro tahun 1830 dalam perang Jawa, selain ada yang pindah dari Pekalongan pindah ke daerah lain, seperti kerdatangan para sayid yang menetap di Wonosobo, Bawang, maupun Banjarnegara, mereka ada yang kembali membangun pendidikan agama Islam didesa-desa di wilayah kabupaten Pekalongan.
Sumber-sumber dari kalangan ulama di Pekalongan telah member keterangan tentang kegiatan yang berhubungan dengan adanya makam-makam ulama Islam yang hidup dan melakukan kegiatannya pada paska perang Diponegoro. Salah satu diantaranya adalah Ki Buyut Marina di desa Godean, Wonopringgo yang dianggap sebagai makam tertua pada masa pra kolonial. Didalam mengembangkan agama Islam bersamaan dengan lahirnya Organisasi-organisasi Islam sepperti Nahdatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah dan pengembangan yang dilakukan oleh para sayid melalui jamaah pengajian telah membawa kegiatan dibidang pendidikan Islam baik melalui pondok Pesantren maupun pendidikan yang bersifat klassikal telah berkembang dan dengan cepat telah menelorkan kader-kader perjuangan untuk menuju kemerdekaan.
Pada masa kolonial para ulama Pekalongan Nampak lebih mengutamakan kemaslahatan dimana mereka didalam perjuangan membangun pendidikan Islam secara mandiri juga telah membangun ekonominya melalui usaha dagang. Oleh karerna itu ulama-ulama Pekalongan dalam kurun decade masa awal kemerdekaan dapat dikatakan sebagai ulama pedagang. Perkembangan lebih lanjut sekitar tahun 1940 diwilayah pedesaan telah tumbuh Pondok Pesantren yang didirikan oleh ulama yang dating dari berbagai daerah, baik dari Jawa Timur, Jawa Barat (Cirebon) maupun dari Sumatra.
Pada tahun 1800 telah berdiri Pondok Pesaantren didesa Simbang Kulon yang dipimpin oleh Kiai Amir. Kegiatan tersebut dimulai sekitar tahun 1840. Kemudian di desa Kanayagan kota Pekalongan teklah berdiri Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Kiai Agus. Pada tahun 1900 Kiai Syafii telah dating dari Pondok Pesatren Kaliwungu Kendal dan di Buaran telah membangun Pondok Pesantren. Kiai Syafii selain seorang ulama yang sangat berpengaruh, juga seorang pejuang kemerdekaan, yang pada peristiwa berdarah pada 3 Oktober 1945 di Pekalongan telah mengobarkan semangat kepada santeri dan masyarakat Pekalongan telah mengusir Jepang dari Pekalongan. Pada tahun 1848 di desa Wagean Keranji Wonopringgo telah berdiri Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Kiai Anwar. Akan tetapi sebelumnya didesa Keranji sudah ada Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Kiai H. Anwar. Pada tahun 1948 di Banyuurip juga berdiri Pondok Pesantren yang dipimpin oleh K.H. Mudakir. Sementara itu pada tahun 1939 seorang ulama dari Cirebon yang bernama K.H. Syarif telah mendirikan Pondok Pesantren di Wonopringgo Bersamaan itu didesa-desa seperti desa Sepahit telah berdiri pondok pesantren yang dipimpin K.H. Adam. Adanya makam-makam ulama Islam yang hidup pada periode sebelumnya, seperti adanya makam Syekh Nurul Anom pengembangan Islam di kabupaten Pekalongan hamper meliputi seluruh wilayah desa-desa di Pekalongan. Dengan demikian meskipun tidak Nampak menyolok perkembangannya pondok pesantren di Pekalongan terus tumbuh sampai sekarang.
Sebagai Kota Santri
Sejak tahun 1926 hingga 2008, Pondok Pesantren yang berada diwilayah Pekalongan telah mencapai 109 pondok. Beberapa desa kecamatan diwilayah Kabupaten Pekalongan hampir semuanya memiliki Pusat Pendidikan Pondok. Beberapa kecamatan diantaranya kecamatan Kandang Serang terdapat 3 pondok pesantren dengan jumlah santrinya kurang lebih 300 siswa santri. Di kecamatan Peninggaran terdapat 8 pondok pesantren yang berdiri rata-rata sejak 1982 hingga 2002 . Yang diasuh oleh 20 Kiai dengan jumlah santri sebanyak 1197 siswa santri. Kemudian di Wonopringgo terdapat 10 pondok pesantren yang diasuh oleh 20 orang Kiai dengan jumlah santri 1301 siswa santri. Di kecamatan Kedung Wuni terdapat 21 pondok pesantren yang diasuh oleh 94 orang pimpinan dengan jumlah siswa santri 5063 siswa santri. Di kecamatan Buaran terdapat 6 pondok pesantren yang diasuh oleh 17 orang pimpinan dengan jumlah siswa 953 orang siswa santri. Di kecamatan Tirto terdapat 9 pondok pesantren dengan 16 oang pimpinan dengan jumlah siswa 747 orang siswa santri. Dikecamatan Doro terdapat 5 pondok pesantren yang diasuh oleh 13 orang pimpinan dengan jumlah siswa santri 761 orang siswa santri. Di kecamatan Kajen terdapat 7 pondok pesantren yang diasuh oleh 19 orang pimpinan dengan jumlah siswa santri 1221 orang siswa santri. Di kecamatan Kesesi terdapat 5 pondok pesantren dengan 8 orang pimpinan dengan jumlah siswa 301 siswa santri. Di kecamatan Talun terdapat 2 pondok pesantren yang diasuh oleh 4 orang pimpinan dengan jumlah siswa 220 siswa santri. Di kecamatan Sragi dan Bojong terdapat 5 buah pondok pesantren yang diasuh oleh 16 orang pimpinan denga jumlah siswa santri sebanyak 1099 orang siswa sanatri. Sejumlah pondok pesantren yang berada dikecamatan Wirodeso, Siwalan, Karangdadap, Wonokerto terdapat 16 pondok pesantren yang dipimpin oleh 279 orang pimpinan dengan jumlah siswa 15.281 orang santri.
Dengan banyaknya pusat pendidikan pesantren yang berada dikabupaten Pekalongan tsangat tepat kalau kabupaten Pekalongan mendapat julukan sebagai kota santri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar